“Calo” Tiket dan Nasionalisme
Suasana batin melawan negeri Jiran Malaysia dalam final sepak bola di ajang Sea Games 2011 bukan sekadar urusan bola semata, tetapi juga menyangkut harga diri negara (serius banget nih).
Memang ini serius karena beberapa kali hubungan Malaysia-Indonesia memunculkan percikan api. Suatu ketika seusai kuliah Psikologi Komunikasi di Universitas Mercu Buana, Jakarta, saya dan teman sekelas seperti biasa berkumpul di kantin.
Kami duduk di kursi berbahan besi dan cat kuning, tepatnya di pinggir bagian utara dekat dengan Sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pecinta Alam.
Ada Estu, laki-laki berkulit putih yang bekerja di sebuah agen periklanan di Jakarta. Estu juga memiliki aliran darah politisi karena sang ayah adalah pengurus DPW Partai Amanat Nasional (PAN) DKI Jakarta.
Di sebelah Estu ada Arya, mahasiswa yang rajin ngomong ketika diskusi, ini memiliki nama lengkap Arya Liberti Prasasti. Ada juga Indah atau lengkapnya Indah Purnamasari, pegawai Bank BCA yang hobi makan.
Di Sebalah saya ada Ryna, pegawai Bank DKI. Kemudian Ikbal, seniman yang berniat menjadi pengusaha. Seperti biasa kami suka ngobrol.
Ngobrol apa saja, mulai dari kisah asmara, orangtua, pekerjaan atau tentang dosen yang sedang ramai dibicarakan. Namun obrolan kali ini lebih hidup dari hari biasanya dan membuat tempat di mana kami nongkrong menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar karena sering tertawa lepas.
Kursi kami berada di bagian utara, berdekatan dengan lahan kosong dan tower kampus. Beberapa mahasiswa “ahli hizab” atau perokok tampak menikmati isapan asap bercampur tembakau sambil sesekali menyeruput kopi.
“Mau pada nonton final enggak? Kalau mau gue pesanin tiket nih,” kata Estu. Kebetulan Senin, 21 September 2011, sekira pukul tujuh malam di Gelora Bung Karno (GBK) ada final sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia.
Arya, gadis yang suka nyerocos kalau sedang diskusi ini langsung kegirangan. “Ayo dong, tapi harus ramaian. Kalau nonton bola sedikit mendingan di rumah,” tutur Arya sambil melipat rambut pirangnya.
Sementara Indah, gadis yang suka diledekin karena hobi tidur dan makan ini pun bersuara. Senyumnya melebar, gigi gerahamnya terlihat, matanya pun menyempit saat tertawa.
“Pengen sih saya ikut, tapi saya kerja dan baru pulang jam lima sore,” kata Indah menjawab ajakan Arya. Kurang lebih satu jam berbincang soal tiket tapi belum ada keputusan. Perkaranya sih cuma satu, karena yang bisa ikut nonton masih sedikit.
“Kalau cuma sedikit mendingan nonton di rumah. Ayo dong Ndah ikut,” kata Arya dengan gurat wajah penuh harap bercampur kesal. Sampai sekira pukul dua sore belum ada keputusan apakah nonton atau tidak.
“Ayo kita masuk kuliah dulu, tapi benar nih enggak pada nyesel beli tiket ke gue. Kalau belinya di GBK mahal loh,” kata Estu yang bernada bujukan gaya sang calo. Dari sinilah, Estu mulai mendapat julukan calo tiket.
Memang bukan calo profesional seperti di terminal bus atau di bandara. Gaya bertuturnya memang saya akui cukup menggoda, bujukannya cerdas dan penuh humor.
Estu membuat saya, Arya, Indah dan yang hadir tertawa terbahak-bahak termasuk orang-orang di sekeliling tempat kami duduk pun melirik. Mungkin terlalu berisik.
Tak lama kemudian, Estu, Indah, dan Arya beranjak dari tempat duduk mengikuti perkulihan. Kami beda jurusan tapi satu fakultas. Estu, Indah, dan Arya, jurusan Broadcasting. Sedangkan saya dan Ikbal jurusan Marketing Communication Advertising.
Karena kebetulan hari itu saya libur dari pekerjaan maka ingin berlama-lama di kampus dan bertahan di kantin sambil menikmati kopi. Kali ini saya cuma berdua dengan Ikbal.
Kami berbincang tentang berbagai hal, mulai dari bisnis, keluarga, kisah asmara, masa depan, termasuk merek berbagai kendaraan mewah meskipun kami belum mampu membeli mobil mewah seperti yang kita bincangkan.
Dua jam kami berdua bincang-bincang sampai akhirnya “gerombolan” Estu dan kawan-kawan muncul dari balik kerumunan mahasiswa di kantin. Rupanya perkuliahan sudah selesai. “Eh Mas Noto tumben belum pulang?” tanya Arya kepada saya. Di belakang Arya, ada Estu, Indah, Panji, dan Nia.
Arya, Indah, dan Estu mengambil posisi duduk bersama saya dan Ikbal, sedangkan Nia, Panji, Zulaekha, dan Gilang di kursi lain yang berjarak satu meter dari saya. Kali ini, ada satu orang lagi yang berkumpul dan berdiskusi soal tiket.
Ryna, wanita yang bekerja di Bank DKI ini terlihat lebih proaktif soal penjualan tiket. “Jadi gimana Estu, sudah 23 orang yang mesen ke saya. Mau ada tambahan enggak?” kata Ryna sambil memencet Blackberry.
Obrolan seputar tiket pun kembali menghangat. “Kapan lagi kita bisa nonton final bareng. Ini bukan cuma urusan nonton, tapi nasionalisme. Harga diri tahu,” Kata Estu.
Saya, Arya, dan Indah tertawa melihat raut muka Estu saat membujuk target pasar untuk tiket. Tak lama kemudian akhirnya disepakati antar mereka bahwa acara nonton bareng di GBK jadi. Janjinya di mana dan jam berapa saya tidak tahu persis.
Saya hanya tahu bahwa Indah tidak bisa ikut karena kerja dan baru pulang pukul lima sore.
Dari komunikasi Estu dan Ryna, ternyata mereka mampu mempraktikan teori komunikasi efektif yang kita pelajari siang harinya.
Dalam buku Psikologi Komunikasi yang dikarang Djalaludin Rakhmat, komunikasi efektif menurut Stewart L Tubbs dan Sylvia Mos, komunikasi efektif menimbulkan lima hal, yaitu pengertian, kesenangan, memengaruhi sikap, hubungan sosial yang baik, dan tindakan.
Estu dan Ryna sebagai calo dadakan ternyata sukses mempraktikan teori tersebut karena mampu mengajak puluhan orang untuk membeli tiket menonton bola di GBK.
So, yang pasti ada untungnya meskipun terbilang belasan rupiah per tiket. Salut deh untuk mereka berdua. “Waktu pertandingan sebelumnya pernah jualan tiket untuk teman kantor, tapi enggak ada yang percaya Mas,” kata Estu sambil tertawa.
Semangat Nasionalisme
Dari obrolan ini saya jadi ingat tulisan Pemimpin Redaksi (Pemred) Indo Pos, Don Kardono. Pejabat Jawa Pos ini mengatakan bahwa berapapun banyaknya perolehan medali emas Indonesia pada Sea Games 2011, tidak akan memuaskan kalau sepak bola Indonesia kalah dengan Malaysia.
Rupanya, untuk membangkitkan nasionalisme rakyat sangat mudah. Memang pertandingan Indonesia melawan Malaysia memiliki dampak suasana batin yang berbeda ketika Indonesia melawan Vietnam atau negara ASEAN lainnya. Melawan Malaysia bukan hanya sekadar urusan bola, tapi harga diri bangsa Indonesia di depan mata Malaysia.
Kasus Ambalat, klaim Malaysia atas kekayaan Indonesia, cukup membuat alasan kalau rakyat Indonesia marah dan berkobar semangat nasionalismenya ketika bertanding dengan negeri jiran tersebut.
Tak hanya itu, kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dan kasus Manohara dengan salah satu pangeran di Malaysia menjadi daftar panjang catatan buruk hubungan Indonesia-Malaysia.
Mungkin ini pula mengapa Menteri BUMN Dahlan Iskan menyetujui rencana pembangunan gedung 100 lantai yang akan mengalahkan gedung Petronas di Malaysia.
Meskipun tidak dimaksudkan membangkitkan kebencian dengan Malaysia, tapi sebagai rakyat Indonesia saya mendukung keputusan Pak Dahlan.
Bukan karena dia big bos Jawa Pos Group, tapi lebih kepada semangat bagaimana kita bisa mengalahkan Malaysia dalam segala hal. Sepak bola, ekonomi, pendidikan, kedaulatan, maupun teknologi, semua harus kita menangkan.
Indonesia terlalu besar untuk tidak dihargai oleh dunia. Meskipun akhirnya Indonesia kalah tapi pecinta bola dan rakyat Indonesia bangga kepada tim nasional karena sudah bertanding maksimal. Jangan menyerah, suatau saat kita pasti akan menang.
# Kantin Kampus Univ. Mercu Buana, Jakarta
Posting Komentar