Kertas si Cantik Jadi Rebutan


Matanya bening, kulitnya kuning langsat, rambutnya lurus sebahu dan terkadang diikat tetapi lebih sering dibiarkan terurai sehingga sering disapu angin, hidungnya mancung, perawakannya semampai. 
Bibirnya tipis membuat senyumnya mengandung magnet setiap mata lelaki termasuk beberapa guru. Setiap langkah dan keberadaanya menjadi pusat perhatian setiap siswa apalagi saat menggunakan baju mayoret di group marching band di sekolah. 

Parasnya yang ayu membuat setiap anak laki-laki di sekolah berharap bisa bicara dengannya. Yah cukup diajak bicara saja, rasanya seperti sedang berdendang dengan bidadari. Dia adalah Evi, lengkapnya Evi Hidayati. 

Aku sendiri tidak pernah satu kelas dengan dia. Meskipun memiliki paras ayu tetapi anaknya tidak sombong apalagi centil. Inilah yang membuat anak-anak kagum dan segan untuk mendekati gadis ini. Bola matanya bening sebening hatinya yang tidak  ingin diistimewakan hanya karena kecantikan yang ia miliki

Setiap gerak badan dan suaranya selalu ditunggu anak-anak. Ia tidak memiliki keistimewaan akademik seperti Aming dan Lie Yang, teman sekelasku yang selalu menjadi juara kelas.

Suatu ketika pada Jumat pukul 07.00 WIB, seluruh siswa berada di lapangan untuk mengikuti senam pagi. Saya, Antoro, Zulekha, Ridwan dan teman-teman di Kelas IIIB bergegas ke lapangan. 

Sementara Aming, Lie Yang, Atiroh terpisah dari kami sejak di kelas II. Mereka  masuk kelas IIIA yang gedungnya berada di samping kelas kami, tepatnya di lorong menuju ke area parkir sepeda. 

Matahari mulai melempar senyuman kuat, lembaran daun kelapa di depan kelas pun melambai kepada sang matahari seperti mengajak bermain. 

“Malas banget senam,” keluh Zulekha. Saya dan teman memahami dia karena kulitnya sudah sawo matang sehingga kalau terkena sinar matahari terlalu lama menjadi hitam.

 Meski mengeluh Zulekha tetap menuju ke lapangan bahkan mengambil posisi baris paling depan. Posisinya di samping Atiroh dan Lie Yang persis di depan Amelia, si bunga sekolah yang kehadirannya selalu menjadi pusat perhatian. 

Kami semua memakai baju kemaja batik hijau tua. Warna ini identik dengan salah satu organisasi besar Islam di Brebes yaitu Nahdlatul Ulama (NU).  

Jumlah pengikut NU cukup besar di kota kami, bahkan di kampungku sendiri mencapai 99,9 persen sisanya yang satu persen adalah Muhammadiah yaitu keluarga Mba Irma, seorang mahasiswa di salah satu kampus di Jogjakarta. Saya dan Antoro berada di barisan ketiga. 

Jarak kami dengan Amelia hanya terhalangi Atiroh dan Lie Yang, sedangkan sisi kanan dan kiri semuanya laki-laki dari kelas IIIC, IIID dan IIIE. 

Pak Ali, guru olahraga kami yang sering mengajak berenang ini terlihat begitu semangat. Celana training putih dan kaos merah bergaris putih seperti ingin mempertegas bahwa semangat nasionalisme harus selalu melekat pada diri setiap anak bangsa. 

“Amel emang cantik ya?” celetuk Antoro yang berdiri di samping dan aku pun menjawab singkat. “iya.” Kataku seperti tidak peduli dengan kehadiran Amel meski sesungguhnya aku sendiri mengakui bahwa kalau keponakan Pak Ratno, guru Agama saya di sekolah dasar ini memang cantik. 

Amelia Sundari, itulah nama lengkap gadis yang secara non formal dinobatkan sebagai bunga sekolah. Aku sendiri tidak tahu, siapa dan sejak kapan penobatan itu dideklarasikan termasuk siapa teman istimewa Amel, sapaan akrab gadis semampai ini. 

Aku juga tidak tahu latar belakang Amel karena tidak pernah satu kelas dan tidak pernah bicara meskipun dalam tugas kelompok. 

Meski demikian, aku cukup mengerti kalau Amel memang banyak yang naksir (emangnya emas mau digadai pakai taksir-taksiran segala). Suatu hari saya memegang hasil ulangan Evi.

Di sekolah kami memang memberlakukan saling koreksi antar kelas. Amel berada di kelas IIIA bersama Atiroh dan Lie Yang. Beberapa saat usai lembaran jawaban dibagikan ke seluruh siswa suasana terlihat ramai. 

Mereka saling menanyakan pemilik lembar jawaban. Awalnya aku menduga alasan mencari tahu pemilik lembaran jawaban supaya bisa ditambahkan nilainya kalau jelek. 

Namun ternyata dugaanku salah besar karena kegaduhan yang terjadi bukan urusan nilai tetapi mereka mencari lembar jawaban milik Evi,  bunga sekolah saat itu. Banyak yang berharap namanya tercantum di lembar jawaban Evi sehingga ketika dibagikan yang bersangkutan membaca siapa yang mengoreksi. 

Guru kami selalu mewajibkan agar  nama yang  mengoreksi ditulis supaya kalau terjadi ketidakcocokan sang korektor bisa mempertanggungjawabkan.

Mengetahui lembar jawaban Evi ada di aku, sejumlah anak meminta tukaran. Mereka meminta tukaran sampai ada yang siap traktir. 

“Apa-apaan sih, wong cuma kertasnya saja pada rebutan. Sana noh ke orangnya langsung,” kataku sedikit kesal. Itulah gairah siswa laki-laki kalau sudah membicarakan Evi seraya saya kasihkan kertas itu ke salah satu temanku. 

Hari semakin terasa panasnya, musim kemarau sepertinya akan panjang dan kalau terjadi kemarau panjang bukan hanya kami yang mengeluh karena selalu terkena debu saat pulang, tetapi para petani termasuk penduduk yang mengandalkan sumur karena menjadi kering. 

Keesokan Hari…
Hari Sabtu ini rencana ada belajar kelompok usai pulang sekolah. Pagi-pagi aku bangun dan melihat lembaran kertas putih yang terjepit di pagar bambu. Lembaran itu berisi tulisan catatan agenda acara hari itu. 

Aku memang terbiasa menuliskan segala aktivitas mulai dari makan, belajar, tidur dan bermain. Meskipun sering dilanggar agenda itu tetapi aku tidak bisa melepaskan kebiasaan menulis. 

Pukul 06.00 WIB aku meluncur dengan sepeda BMX hitam. Sepeda ini lebih manusiawi daripada sepeda yang dibelikan bapak yang ukurannya besar sedangkan aku berbadan mungil. 

“Giarto sudah berangkat belum?” tanyaku pada Yuli, adik Sugiarto. Sugiarto adalah teman satu kampung yang berbeda sekolah. Bapaknya seorang guru dan neneknya tukang urut yang cukup terkenal. 

Sugiarto sekolah di SMPN 2 Jatibarang. Sekolah ini musuh bebuyutan sekolahku soal prestasi. Di SMPN 2 terkenal lebih mahal dan banyak anak-anak China yang sekolah di tempat ini. Sekolahnya berdekatan dengan Pabrik Gula Jatibarang.
   
“Sudah barusan keluar,” kata Yuli. Mendengar jawaban Yuli aku langsung menggowes sepeda BMX untuk mengejar Sugiarto. Kami selalu berangkat bersama karena arah dari rumah ke sekolah satu jalur. 

Kecepatan gowesan Sugiarto rupanya tidak bisa aku kejar. Sampai di sebuah jembatan Desa Kebonagung, tetangga desaku  muncul seorang gadis yang menggunakan sepeda BMX. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Aku coba melirik simbol di lengan sebelah kanan gadis itu. 

“Oh rupanya dia satu sekolah denganku, tetapi siapa kok aku ga kenal padahal pakai sepeda setiap hari,” gumam saya dengan penuh penasaran. 

Belakangan baru aku tahu dia adik kelas dan teman satu kelas Ani, tetanggku di kampung. Entah kenapa pagi itu jantungku deg-degan. Batinku beberapa kali tersentak tetapi tidak tahu penyebabnya. 

Padahal aktivitas tidak ada yang berubah, tetapi aku seperti gugup dan kaget saat menata buku, memakai sepatu hingga saat menggowes sepeda selama di perjalanan. 

“Kok ada yang aneh,” kataku dalam hati. Aku tidak pedulikan gadis dari persimpangan jalan itu. Aku gowes sepeda  dengan sedikit kencang. 

Beberapa pir (sejenis delman) aku lewati termasuk puluhan sepeda para siswa yang ada di jalan. Alhamdulillah akhirnya sampai di sekolah tepat pukul 06.55 WIB, lima menit sebelum bel masuk berbunyi. 

Hatiku lega karena kalau terlambat aku harus berurusan dengan guru di Bimbingan Penyuluhan (BP).  Jika berurusan semuanya bisa menjadi repot karena biasanya ada hukuman. 

Kalau tidak disuruh menulis kata-kata penyesalan di halaman folio hingga berlembar-lembar, siswa dijemur di pelataran kelas. Aduh… betapa malunya kalau sampai itu terjadi.

Pak Tasnja, Kepala SMPN 1 Jatibarang terkenal seantero jagat soal kedisiplinan. Itu makanya sekolahku ini selalu mendapat prestasi dan menjadi perhitungan.

Jam pelajaran pertama adalah Matematika. Aduh…ini pelajaran yang paling membuat aku sport jantung. Nilaiku tidak pernah mendapatkan enam karena selalu mendapatkan nilai merah alias lima. Betul-betul aku tersiksa oleh mata pelajaran ini. 

“Apa ini yang membuat aku deg-degan dari pagi?” tanyaku dalam hati. Aku langsung masuk ke kelas dan ternyata Pak Budi, guru matematika yang sisirnya klimis sudah ada di kelas. '

“Pagi Pak,” kataku dan beruntung langsung dipersilahkan duduk. Hatiku berbunga-bunga dan sempat menarik nafas panjang seperti terbebas dari ancaman. "Tumben nih guru," gumamku dalam batin.

 Alhamdulillah pelajaran paling menyiksa selesai dan saatnya menikmati nasi dan gorengan tempe di kantin. Sedang asik-asiknya makan bersama Antoro, Ridwan, Zulekha, Atiroh dan Lie Yang, tiba-tiba datang sosok gadis semampai, rambut lurusnya terurai rapi, kulitnya kuning langsat.  

Dia tepat berdiri di sampingku dan menyapaku sambil memegang pundaku. Jantungku berdenyut kencang, pikiranku melayang-layang seperti layang-layang putus dari benang. Rasa tempe yang semula nikmat mendadak terasa hambar. 

Ternyata bukan cuma aku yang kaget dan heran, tetapi teman-temanku juga terlihat kaget, itu tampak dari mimik wajah mereka. 

Antoro sesekali melirik ke arah lengan Amel yang terlihat mulus, dia sepertinya tidak berani menatap mata Amel. Sementara Zulekha, Lie Yang dan Atiroh menyapa Amelia. “Hai Amel, tumben nih,” kata Zulekha.


 Aku masih belum paham dan deg-degaan dengan telapak tangan Amel yang tiba-tiba memegang pundaku. Rupanya teman-teman yang di balik jendela kelas pun memerhatikan perisitiwa bersejarah ini. 

Mereka terlihat bengong dan menunjukan raut muka penasaran dengan peristiwa tersebut. “Makasih ya atas koreksinya,” kata Amel kepadaku. Aku pun langsung menjawab dengan singkat. 

“Sama-sama,” kataku tanpa ada kata lain. Meskipun cantik tetapi Amel gadis yang tidak menyombongkan diri karena kecantikannya itu. Ia murah senyum dan menurut pengakuannya saat bertemu di salah satu acara, sebetulnya ia ingin diposisikan seperti siswa lain. 

“Kenapa ya teman-teman kok sepertinya canggung kalau bergaul denganku, padahal aku ingin seperti yang lain. Lebih enjoy dan lebih nyaman,” kata Amel kepadaku. 

“Itu karena kamu cantik dan rendah hati jadi orang juga segen. Coba kalau kamu cantik tapi cerewet atau judes pasti pada nyepelin kamu,” kataku kepada Amel. Itulah risiko orang cantik. Terkadang membuat orang canggung dan tidak berani sembarangan mengajak ngobrol.




Posting Komentar