Kepak Sayap Sang Pramugari



Tak biasanya Lena terlambat kuliah. Jam delapan lewat delapan menit ia baru sampai di kampus, padahal biasanya Lena sudah sampai 15 menit sebelum jam kuliah dimulai dan waktu 15 menit ia pakai untuk tukar pikiran, lihat catatan mata kuliah yang akan diikuti atau sekadar tukar informasi. Hari itu adalah Ujian Akhir Semester (UAS) di semester tiga Lena kuliah.

Dua menit lagi Lena nyaris tidak bisa mengikuti UAS karena pihak kampus memberlakukan keterlambatan hanya bisa ditolerir 10 menit, jika lebih dari dari 10 menit maka harus ikut ujian susulan. 

Ujian jenis ini paling ditakuti mahasiswa karena prosesnya lumayan panjang, apalagi kalau alasanya gara-gara terlambat.

Saat mengetuk pintu ruang kelas, wajah Lena tampak gugup karena khawatir tidak bisa mengikuti ujian.

 “Assalamu’alikum Bu,” salam Lena sambil mengetuk pintu dengan jari tengahnya yang ditekuk. “Wa’alaikumsalam,” jawab mahasiswa yang ada di ruang kelas sementara Bu Diah sepertinya merasa cukup menjawab dalam hati.

“Silahkan masuk, ini sudah terlambat berapa menit ya?” tanya Bu Diah kepada Lena sambil melihat jam tangan berwarna kuning emas di pergelangan tangan kirinya.

Lena pun sama-sama melihat jam tangannya yang kebetulan berwarna sama dengan jam tangan milik Bu Diah. “Terlambat delapan menit Bu, kan masih boleh mengikuti. 

Sesuai aturan kan maksimal sepuluh menit Bu,” negoisasi Lena sambil mengusap keringat di kening putihnya yang membentuk gelembung kecil seperti embun di pagi hari.

Gelembung keringat di keningnya membuat wajah Lena tampak lebih fresh seperti menebarkan kebahagiaan dan optmisme dalam memandang masa depan. Bahwa masa depan penuh liku dan onak duri iya, tapi jalan tak sepenuhnya terjal melainkan ada yang datar, menurun dan ada saatnya naik, itulah intisari kehidupan yang digariskan Tuhan.

“Kamu boleh mengikuti ujian tapi saya sarankan lain kali jangan mepet begini, karena nantinya kamu ga konsentrasi. Kan kalau datang ke kampusnya lebih awal kamu bisa santai dulu, ga seperti sekarang keringatan,” kata Bu Diah sambil mempersilahkan Lena duduk di kursi yang kosong.

“Alhamdulillah, terima kasih Bu,” jawab Lena dengan lega dan mata berbinar seperti baru lolos dari ancaman bahaya. Beruntung Lena mendapat kursi persis di arah AC menebarkan hawa sejuknya, sehingga bisa lebih tenang dan mengurangi detup jantung akibat berlari-lari kecil karena khawatir terlambat.

Ujian dilaksanakan selama 1,5 jam dan dimulai dari jam 08.00 sampai 09.30 WIB. Hari itu ada dua mata kuliah ujian, keduanya merupakan mata kuliah inti pada Jurusan Broadcasting di Fakultas Ilmu Komunikasi, jurusan dimana Lena mengambilnya.

Sejak saya mengenal Lena, ia kategori mahasiswa yang secara akademik biasa-biasa saja. Nilai mata kuliah pada semester pertama dan keduanya tidak ada yang dapat A, paling maksimal B. Namun hebatnya ia seperti tak terbebani dengan nilai tersebut dan merasa enjoy menjalani semua takdir Tuhan itu.

Bimbang Berujung Kebahagiaan
Suara klakson mobil dari berbagai jenis, mulai dari metromini, taksi, angkutan kota dan mobil pribadi saling bersahutan di depan kampus. Raungan klakson itu seperti tak peduli pada perasaan Lena yang sedang bimbang karena harus segera memutuskan.

Jam empat sore mayoritas mahasiswa kelas karyawan selesai ujian. Lena sengaja mengambil kelas karyawan agar bisa berinteraksi dengan mahasiswa yang sudah matang karena mayoritas sudah bekerja dan berkeluarga.

“Len  main dulu yuk ke Gramedia, temenin aku beli buku buat tugas nih,” ajak Patricia, teman karib Lena sefakultas. Hari ini Lena seperti ingin buru-buru pulang ke rumah. 

Ia memendam sesuatu yang harus menunggu waktu tepat untuk disampaikan. Apakah perihal jodoh?, entahlah yang pasti hari itu Lena tak memenuhi ajakan Patricia.

“Aduh sori banget nih Aci, aku harus cepat balik soalnya ada hal penting yang mau aku selesaikan,” kata Lena seraya minta pamitan izin pulang lebih awal. 

“Ada apa Len, Lo mau minta izin nikah? Kok kayanya penting banget,” kata Aci, panggilan akrab Patricia. Lena hanya tersenyum sambil menjelaskan kalau hal penting yang dimaksud bukan urusan perjodohan.

“Bukan, bukan itu. Ngarang aja kamu nih. Pokoknya nanti kalau sudah clear semua aku kasih kabar. Ya, ya, sori banget nih, sori...beneran sori,” kata Lena seraya bergegas ke luar kampus. Aci pun merelakan kepergian sahabat lamanya itu sambil menyimpan rasa penasaran.

“Tumben banget tuh anak, biasanya cerita langsung sama gue, tapi kali ini kok ga ya? Ada apaan sih tuh anak, kok kayanya penting dan rahasia?” gumam Aci dalam batin sambil menatap kepergian Lena.

Lena berjalan ke luar kampus dengan langkah lebih dari biasanya. Tas rangsel warna kuning yang dipunggunya naik turun lebih dinamis akibat langkah kaki yang cepat.

Rambut hitam sebahu sesekali berkibar tersapu angin kumbang yang mulai nakal. Tangan kanannya memegang dua buah buku yang ia pinjam dari perpustakaan kampus.

Beberapa mata sejumlah mahasiswa melihat langkah Lena yang buru-buru. Sebetulnya bukan karena langkahnya, tapi paras ayu Lena yang mengundang perhatian setiap mata memandang. “Taksi, taksi,” teriak Lena sambil berlarian menuju pintu gerbang dimana ada sebuah mobil taksi hendak keluar dari gerbang kampus.

Petugas kampus yang mendengar teriakan Lena mencoba menghentikan taksi tersebut. Dengan dibantu petugas keamanan kampus akhirnya Lena bisa menaiki taksi tersebut menuju ke rumahnya di komplek perumahan sederhana di Kawasan Karawaci, Kota Tangerang.

Di perjalanan Lena masih merenung apakah keputusan yang akan diambil tepat atau membatalkan niatnya itu. Tak lama kemudian Lena sampai di rumah dan langsung masuk. “Assalamu’alikum,” salam Lena dan langsung dijawab Lastri, ibunda Lena yang sedang menjahit.

Sejak suaminya meninggal pada kecelakaan pesawat, ibu Lena menjadi penjahit untuk bisa menyekolahkan anak semata wayangnya itu.

“Lena, Ibu mau bicara penting. Kamu ga capai kan?” kata Lastri sambil mengusap kening Lena yang tertutup beberapa helai rambut. ‘Iya Bu, sebantar ya, Lena taruh tas sama buku dulu sekalian Lena juga mau ngomong sesuatu ke Ibu,” kata Lena sambil bergegas ke kamar mungilnya. Di rumah sederhana ini Lena tinggal berdua bersama ibunya.

Rumah yang sisa kreditnya tinggal setahun ini adalah sisa-sisa peninggalan ayahnya yang menjadi guru di salah satu sekolah swasta di Jakarta, sebelum akhirnya meninggal pada usia 51 tahun. Di kamar, Lena menatap ke cermin sambil merenung dan melihat lembaran kertas dan beberapa arsip lainnya.

“Ya Allah, apakah saya sanggup menjelaskan ke Ibu soal niat saya. Tapi kalau saya ga bekerja kasihan Ibu harus lembur setiap malam sementara saya tidak bisa bantu karena ga bisa menjahit,” gumam Lena dengan hati was-was bercampur bimbang.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki Lastri menuju ke kamar Lena. Tok..tok.. “Lena, Ibu boleh masuk?” kata Lastri. Lastri memang seorang ibu yang lemah lembut, tutur katanya lembut dan tak pernah mau terlibat dalam obrolan nggosip dengan tetangganya.

Inilah mengapa ia selalu menjadi “hakim” di tempat “persidangan” setiap ada masalah yang harus disidang antar ibu-ibu dikomplek akibat merasa tersinggung atau salah paham. “Iya Bu, silahkan masuk ga dikunci kok,” jawab Lena.

Dengan didahului menarik nafas panjang, Lastri pun memulai pembicaraan dengan Lena empat mata. Lastri ternyata sudah tahu tentang keinginan Lena yang ingin menjadi seorang pramugari di salah satu perusahaan penerbangan nasional.

“Kamu serius mau jadi pramugari?. Ibu baca surat lamaran kamu tadi siang waktu Ibu mau mencari foto ayahmu yang pernah kau ambil,” tanya Sulastri dengan suara lemah lembut dan menatap paras ayu Lena. Bukan hanya di kampus, Lena menjadi perhatian, tapi di kawasan kompleknya pun ia menjadi “bunga” komplek.

Lena seperti menghadapi kebimbangan, antara meneruskan impiannya menjadi pramugari atau memilih pekerjaan lain. Memang sejak peristiwa kecelakaan pesawat yang menewaskan ratusan penumpang termasuk Suhardiman, suami Lastri sekaligus Ayah Lena, Lastri masih trauma ketika mendengar kata pesawat dan bandara. Inilah yang membuat Lena bimbang karena tak ingin mengingatkan Ibunya pada peristiwa kelam tersebut.

Sementara orang yang disayangi hanya tersisa Lena. “Iya Bu, itu juga kalau diizinkan Ibu. Kalau tidak ya, Lena mau cari pekerjaan lain,” jawab Lena dengan mata berkaca-kaca karena ia tahu pasti Ibunya sedih setiap mendengar atau melihat hal-hal yang berbau pesawat terbang, karena teringat peristiwa kecelakaan pesawat beberapa tahun silam.

Sebetulnya Lastri merasa berat dengan pilihan Lena, tapi ia juga sadar dan bijak melihat cita-cita anak semata wayangnya itu. Suaminya mengalami kecelakaan hingga tewas saat melakukan perjalanan dinas ke Solo, Jawa Tengah.

Sejak saat itu ia trauma termasuk saat mendengar kata pramugari, suara pesawat, pilot termasuk bandara. “Ibu memang berat tapi kamu juga sudah dewasa dan harus bisa mengejar cita-cita apa yang kau inginkan.

"Jadi Ibu mengizinkan kamu bekerja menjadi pramugari,” kata Lastri. Mendengar jawaban Ibunya, Lena langsung memeluk Lastri sambil terisak-isak. “Bu, maafin Lena ya?

 Dan ibu doakan Lena biar selamat dan menjadi pramugari yang profesional dan paling penting biar selalu selamat,” kata Lena sembari mengusap air mata sang ibunda.

Ibunya hanya menitip pesan agar Lena tidak meninggalkan shalat, dzikir dan berdoa. Kapanpun dan dimanapun, apalagi sedang dalam tugas di pesawat kamu jangan sekali-kali lalai mengingat Allah SWT, karena manusia tidak pernah tahu akan nasibnya.

“Shalat jangan ditinggalkan ya Nak, Ibu cuma bisa berdoa semoga cita-citamu berhasil,” kata Lastri yang mencoba memompa semangat di tengah menahan perih batin dengan impian Lena tersebut.

*** BERSAMBUNG

Posting Komentar