Jadi Wartawan, Siapa Takut ?



Sejak arah perpolitikan di negeri ini berubah 180 derajat, yang diawali dengan lahirnnya gerakan reformasi dengan lokomotif para mahasiswa, sejak itu pula posisi mediapun berubah dan secara otomatis gerak dan langkah para kuli tintapun mengikuti perubahan tersebut. 

Kalau kita menengok sejarah kebelakang dimasa kepemimpinan Soeharto profesi wartawan boleh dibilang posisi yang cukup beresiko terutama bagi para wartawan yang memegang teguh kode etik wartawan dan idealismenya, karena harus sering berbenturan dengan tirani penguasa yang sesukanya tanpa mengindahkan kondisi masyarakatnya.


Kebebasan dan independensi wartawan ketika itu cukup sulit dan sangat terbatas ruang untuk mengekspresikan temuan – temuan yang mereka lihat di lapangan, terutama persoalan kekuasan yang menyangkut korupsi atau penyelewengan. 

Padahal masyarakat harus menuntut wartawan untuk memberikan informasi tersebut, namun disisi lain wartawan dibatasi dinding penguasa yang kalau dipaksakan maka wartawan tersebut akan terpental bahkan kemungkinan roboh dan berdarah – darah akibat benturan yang tidak seimbang antara seorang diri dengan penguasa yang tidak segan – segan menggunakan cara kekerasan baik itu penculikan maupun pembunuhan.

Era Reformasi yang kini dihadapan kita cukup memberikan rasa optimisme karena para wartawan kini bisa bernafas lega untuk mengekspresikan profesinya sebagai wartawan dengan tetap memperhatikan kode etik wartawan.

Wartawan kini bisa berteriak keras dan lantang dalam menyuarakan kebenaran. Dayungpun bersambut, masyarakat turut merespon dan memberikan dukungan yang beragam. 

Gegap gempitanya media dan wartawan sebagai ujung tombak berita menandakan dunia sudah berubah, dimana kran demokrasi yang selama berpuluh – puluh tahun tersumbat oleh limbah penguasa kini terbuka bahkan mengalir sangat deras sekali, maklum saking lamanya jadi ada yang sampai ”kelupaan”.

Tidak mudah memang untuk menjadi seorang wartawan, disamping butuh teoritis tentang dunia kewartawanan juga dibutuhkan kelincahan kita dalam mencari berita terutama yang menyangkut perkara – perkara hukum, mungkin inilah salah satu faktor kenapa penulis bersedia untuk mengikuti pendidikan wartawan di Radar Institute. 

Menurutku dunia wartawan profesi yang penuh tantangan dan kita dituntut untuk kreatif dan jeli dalam proses pencarian berita bahkan sampai informasi tersebut menjadi sebuah berita yang nantinya akan dinikmati oleh banyak orang.

Selain tantangan kreatifitas seorang wartawan juga ditantang sejauh mana idealisme dan konsistensinya dalam menjalankan kode etik sebagai wartawan, idealisme ini erat kaitannya dengan soal “uang”, Sering kita temukan wartawan yang “melacurkan” diri dan menjual harga dirinya sebagai wartawan hanya demi uang. 

Padahal dalam salah satu kode etik wartawan adalah wartawan Indonesia dilarang menerima suap, sebab kalau seorang pekerja “kuli tinta” ini sudah berani menerima sogokan maka akan berdampak pada berita yang dipublish, berita akan timpang dan subyektif dan jelas ini sangat merugikan masyarakat dan membuat stigma profesi wartawan jelek.

Berlakunya undang – undang Pers No.40 tahun 1999, dimana surat ijin tidak lagi diperlukan lagi, hal ini berdampak pada munculnya media – media yang “OJP” (ora jelas pisan) dan wartawannyapun wartawan “bodrex”. Fakat ini menyebabkan media dan wartawan tidak mengindahkan unsur profesionalisme dan lagi – lagi masyarakat dirugikan untuk yang kesekian kalinya. 

Penelusuran detikcom terhadap kehadiran wartawan bodrek, mutaber, WTS maupun wartawan pemeras keberadaannya cukup mengkawatirkan. 

Mereka menghadiri berbagai acara-cara yang menyediakan uang. Seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), lounching produk, dan konperensi pers lainnya. Para wartawan bodrex ini selalu memburu berbagai acara, untuk mendapatkan "delapan enam", kode lain untuk mendapatkan uang amplop.

Bagi sebagian orang profesi wartawan bukan dijadikan ladang penghidupan akan tetapi lebih kepada hobi. Hobi mengamati fenomena sosial politik yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan, dengan harapan orang lain bisa mendapatkan informasi tersebut, yang bisa jadi informasi itu cukup berarti dan ditunggu – tunggu oleh mereka, padahal mungkin menurut kita biasa – biasa saja. 

Mungkin itulah salah satu alasan penulis ingin mengikuti pelatihan wartawan ini. Intinya penulis berharap masyarakat harus tahu apa yang sebetulnya telah terjadi disekitar lingkungan tempat mereka hidup, terutama yang menyangkut hajat hidup mereka, seperti kebijakan pemerintah yang mereka jarang atau bahkan tidak pernah tahu dinamika yang terjadi sesungguhnya terjadi dalam urusan kepemerintahan apatah lagi yang menyangkut uang, padahal mereka (baca:rakyat) berhak tahu dan berhak menikmat karena sesungguhnya itu adalah uang rakyat juga.

Selain memberikan informasi soal kebijakan masyarakat juga perlu tahu persoalan – persoalan lain, seperti perkembangan teknologi, peristiwa kriminal siraman ruhiyah dan informasi – informasi lainya yang mampu mencerahkan masyarakat. Sehingga masyarakat akan semakin cerdas dan diharapkan juga mampu menangkap dan mengkritisi fenomena tersebut.

Networking atau jaringan itu juga menjadi salah daya tarik kenapa penulis ingin menjadi wartawan, jaringan ini akan menambah wawasan dan khazanah kelimuan kita, karena ketika kita meliput secara otomatis kita harus berinteraksi dengan nara sumber, disana kita bisa ngobrol banyak yang berkaitan dengan tema. Naluri ingin mendapatkan rekan banyak merupakan kodrat manusia karena memang manusia adalah Zoon Politican demikian ungkapan salah satu ilmuwan tekemuka.

Inti dari tugas wartawan sebetulnya adalah mencari berita dan menuliskanya menjadi sebuah berita untuk orang lain, sehingga orang lain jadi tahu informasi terkini. Disamping menulis untuk orang lain sekaligus menulis sebagai ujud untuk mengekspresikan diri sendiri., dalam artian mempertaruhkan diri dengan tulisannya.

Tulisan ini sebagai salah satu syarat untuk mengikuti training wartawan di Radar Institute

Posting Komentar