Baru Sadar Hidup di Indonesia

Caption Foto:
Kakak saat mengikuti Kejuaraan Taekwondi di Kota Cilegon, Provinsi Banten. Waktu itu Kakak masih kelas enam sekolah dasar. Dok/Foto:Karnoto

Wah, ini sudah mencurigakan. Baiklah terpaksa saya pakai cara lain demi menyelamatkan anak saya karena ada dugaan tidak transparan," gumam saya dalam hati.

Terus terang saya dan istri baru sadar bahwa kami hidup di Indonesia itu ketika istri mengikuti tes seleksi calon komisioner  pada salah satu lembaga. Waktu itu istri sudah lulus tes administrasi dan sudah sampai pada tahap wawancara.

Saya masih ingat wawancara itu dilakukan di salah satu hotel di Kota Tangerang. Ketika itu, istri saya dan beberapa relasi saya meyakini bahwa dia akan lolos mengingat dalam aturan itu ada prosentase untuk perempuan dan istri adalah satu - satunya perempuan yang lolos waktu itu.

Tapi ternyata pada pengumuman istri tidak lolos karena benar - benar modal polos. Artinya tidak pernah ngajak ngopi sejumlah orang apalagi tim seleksi. Dari sinilah saya sadar bahwa kita hidup di Indonesia, dimana relasi itu menjadi urgen bahkan terkadang jauh lebih urgen ketimbang kapasitas dan profesionalitas.

Sebenarnya ada beberapa orang yang ngajak ngopi dengan saya menjelang pengumuman tapi waktu itu saya tidak mengiyakan karena saya tahu orang ini punya hubungan dengan salah satu tim seleksi karena memang saya waktu itu idealismenya full seribu persen.

Dari sinilah saya menyadari bahwa mengandalkan kecerdasan, kejujuran, keilmuan tidaklah cukup untuk bisa hidup di Indonesia. Ada satu hal penting yang mesti dimiliki yaitu relasi, tanpa ini semua yang kita miliki tidak akan pernah mendapatkan tempat sebagaimana mestinya.

Kesadaran inilah yang kemudian membuat saya harus menurunkan level idealismenya satu tingkat agar apa yang pernah dialami istri tidak terjadi lagi. Sampai suatu waktu anak saya masuk ke sekolah dan mengikuti tes sebagaimana mestinya.

Tes demi tes diikuti sampai ada kabar bahwa pengumuman kelulusan pagi hari. Namun ditunggu sampai siang tak kunjung muncul sampai sore hari. Saya mulai curiga dan insting jurnalis saya yang suka negative thinking pun beraksi. Dan pengumuman ternyata baru muncul tengah malam dan tidak ada nama nama anak saya.

"Wah, ini sudah mencurigakan. Baiklah terpaksa saya pakai cara lain demi menyelamatkan anak saya karena ada dugaan tidak transparan," gumam saya dalam hati.

Singkat cerita akhirnya saya kontak seseorang di lembaga pemerintah yang kewenangannya di atas sekolah anak saya. Kepada dia saya ceritakan kronologisnya dan keesokan harinya dia mendatangi sekolah tersebut dan selang beberapa menit pihak sekolah menghubungi saya dan menyampaikan kalau Si Kakak diterima di sekolah tersebut.

Anak Bapak sudah diterima sejak awal, ini cuma karena ada kesalahan teknis saja dari panitia," demikian alasan pihak sekolah dan akhirnya anak saya pun sekolah di tempat itu tanpa uang sepeserpun tetapi dibantu relasi.

Apa yang saya lakukan itu lebih kepada bagaimana masa depan anak saya terselamatkan. Jangan sampai hanya gara - gara hal di atas anak saya menjadi korban. 

Mengapa hal itu saya lakukan? Pertama saya meyakini bahwa anak saya punya kemampuan akademik. Dan itu terlihat sejak sekolah dijenjang sebelumnya selalu peringkat satu.

Dan anak saya berhasil membuktikan itu bahwa dia memang layak di sekolah itu. Dia berhasil menjadi rengking satu pada kelas dua dan mendapatkan peringkat kedua untuk satu sekolahan yang jumlahnya 350 siswa lebih. Dia pun masuk di kelas percontohan, Alhamdulillah.


Posting Komentar