Mudik Lebaran dan Tradisi Nyadran



Perbincangan pertengahan Ramadhan mulai bergeser, bukan lagi soal buka puasa atau ngabuburit melainkan lebih maju yaitu percakapan mudik ke kampung halaman. "Mudik ga Lebaran,? tanya beberapa tangga kami pada Ramadhan ke-19. Sebaliknya saya juga sudah bertanya ke mereka, kapan mau mudik.

Buat kalian yang bukan manusia perantau mungkin belum merasakan keseruan mudik sekaligus kepenatan dan kepusingannnya. Pada tradisi mudik memang semua perasaan dan rasa campur aduk, ada perasaan gembira karena bisa berkumpul dengan keluarga, bertemu teman sepermainan semasa kecil dan menginjakan kaki ke tanah kelahiran, dimana ari - ari bayi kita berada.

Ada juga rasa bangga bagi mereka yang telah sukses merantau. Pulang kampung membawa mobil, berpakaian rapi dan mendapat "kewibawaan" dari orang - orang di kampung. Namun ada pula rasa pusing dan penat karena biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya mudik cukup besar, apalagi bagi yang sudah memiliki keluarga.

Mudik tahun lalu (tahun 2022) kami menghabiskan kurang lebih Rp 15 juta. Biaya itu untuk sewa travel pulang pergi, kebutuhan pakaian, beli kue dan amunisi untuk keperluan nyadran, yaitu tradisi berkunjung bagi yang muda ke keluarga yang lebih tua.

Bayangkan saja, andaikan kita sudah berkeluarga berarti ada dua kelompok yang harus kita datangi, satu dari pihak keluarga saya dan keluarga besar istri. Untuk tradisi Nyadran ini saya ceritakan nanti dibagian akhir.

Kembali pada soal perasaan mudik, ada pula mereka yang harus mewarnai suasana Lebaran dengan kesediahan karena tidak bisa mudik dengan berbagai alasan, mulai dari tidak dapat tiket sampai tidak punya ongkos untuk mudik. Jadi, benar - benar campur aduk perasaan mudik Lebaran.

Sekarang saya mau menceritakan soal tradisi Nyadran di kampung halaman saya di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Tidak ada yang mengetahui pasti, siapa yang memulai tradisi Nyadran. Sejak kecil Nyadran sudah akrab dengan kehidupan masyarakat Ngapak ini.

Nyadran adalah tradisi silaturahim ke orang yang lebih tua, entah itu kakak, nenek kakek, bibi, paman, mamang, tante dan lainnya yang dianggap lebih tua. Dalam kunjungannya itu ada tradisi membawa beberapa kue khas Lebaran, seperti lepet, ketupat dan kue lainnya dan satu yang tidak boleh lupa adalah gula teh.

Dalam perkembangannya oleh - oleh yang dibawa sekarang ini lebih banyak jajanan modern yang dibeli di minimarket dan menggunakan toples. Tapi untuk gula teh tetap tidak tergantikan, untuk dua ini wajib hukumnya, Biarpun bawa aneka makanan dan kue tapi kalau tidak ada gula dan teh maka akan dianggap asing.

Setelah sekian tahun saya baru mengerti dan memahami bahwa tradisi ini yang dulu saya anggap ribet dan ga penting, tapi setelah dewasa itu penting karena ada value dan filosofi tentang hidup dan kehidupan dalam berkeluarga.

Kita faham bahwa Indonesia menjadi negara kuat yang berbeda dengan negara sekalipun itu Eropa, adalah Agama dan Keluarga. Inilah basic negara kita, Indonesia sehingga menjadi negara kuat dengan segala dinamika yang terjadi.

Tradisi Nyadran layak untuk kita pertahankan karena tradisi ini mengajarkan kita arti penting merajut kerabat yang mungkin sempat renggang karena jauh dari kampung halaman atau boleh jadi sempat ada percikan api maka momentum Lebaran Idul Fitri melalui budaya Nyadran bisa menjadi obat yang meleburkan semua percikan api itu.

Memang melalahkan apalagi bagi mereka yang memiliki saudara tua jauh maka bisa jadi Nyadran tidak cukup dilakukan dalam sehari. Kalau di era 90-an mereka rela Nyadran dengan mengayuh sepeda, mengapa kita generasi yang dilengkapi dengan fasilitas transportasi modern tidak semangat melakukan itu.

Percaya atau tidak, kelak nanti ketika dewasa justru merindukan suasana Nyadran. Ada banyak kenangan, berjuta cerita dan makna dalam tradisi Nyadran. 

Posting Komentar