Cerita Nyata, Penyesalan Seorang Ayah

 


Ini kisah nyata dari seorang Ayah yang menyesal mengapa ketika anak - anaknya masih kecil dalam momentum Golden Age (masa emas) dia tidak bisa membersamai ketiga anak laki-lakinya. Dia menyesal karena belakangan setelah anak - anak besar kehilangan figure seorang Ayah.

Semasa anak - anaknya masih kecil, dia super sibuk mencari uang dan jabatan karena ia berfikiran apa yang terjadi pada dia ketika masih anak-anak tidak menimpa anaknya, yaitu kekurangan ekonomi. 

Apa yang dia kejar pun tercapai, dia mendapatkan posisi jabatan strategis dan menjadi orang kedua terpenting di tempat kerjanya di sebuah lembaga pemerintahan. 

Harta pun berhasil ia kumpulkan, bisa membeli mobil Pajero Sport, mobil dinas mewah, bisa membangun rumah tingkat dan membeli aset tanah yang luas. Apalagi istrinya juga bekerja di lembaga pemerintahan yang terkenal basah.

Tentu saja semua keberhasilan materi itu ia nikmati, merasa sukses karena status sosialnya tinggi. Waktu pun terus berjalan hingga ketiga anak laki - lakinya tumbuh besar, paling besar saat tulisan ini dibuat tahun 2023 sudah kuliah, anak keduanya SMA dan anak ketiganya masih sekolah dasar di yayasan swasta kelas atas yang terkenal mahal.

Sejak kecil ketiga anak laki - lakinya ditinggal oleh dia dan istrinya karena harus bekerja. Sang Ayah pun sering pulang malam bahkan beberapa hari tidak ada di rumah karena harus keluar kota tugas kantor. Begitu pun sang Ibu, saya sering melihatnya pulang malam karena urusan pekerjaan.

Waktu terus berjalan dan ketiga anaknya mulai terlihat sesuatu yang liar. Anak - anaknya sering berantem dan gebrak pintu, bahkan terakhir ada salah satu anaknya yang terluka tangannya akibat memukul kaca jendela rumah ketika kaka beradik berantem.

Ayah dan Ibunya mengetahui setelah mereka pulang kerja. Para tetanggalah yang sering mengetahui anak - anak mereka berantem layaknya tawuran. Dan itu bukan terjadi satu kali, melainkan beberapa kali.

Hubungan antara mereka pun kaku, kering dan tidak sehidup layaknya Ayah dan anak. Mungkin efek karena jarang bertemu, jarang becanda diantara mereka sehingga mengalami kesulitan soal komunikasi antar personal diantara mereka.

Kini, diusianya mendekati pensiun sebagai pegawai negeri Ayahnya seperti menyiratkan penyesalan. Menyesal bahwa harta dan jabatan yang ia kumpulkan mati - matian tidak bisa merubah karakter anak dalam waktu sekejap.

Menyesal mengapa dulu ketika anak - anak masih golden age ia dan istrinya justru sibuk di luar karena bekerja mengumpulkan harta dan mengejar jabatan. Karena ternyata itu tidak bisa mengubah karakter anak - anak mereka yang terbentuk saat mereka masih kecil, dimana tidak merasakan kehadiran dari sosok Ayah.

"Ayahnya ada, tapi seperti tidak ada" kata Elly Risman, Psikolog dalam sebuah acara talkshow di televisi swasta Indonesia. Dalam kesempatan itu, Elly menuturkan bahwa selama ini cara berfikir yang keliru, yaitu mengesampingkan peran Ayah dalam perkembangan karakter anak.

Padahal, kata dia, justru kehadiran seorang Ayah menjadi urgen untuk membentuk karakter anak. Dari seorang Ayah, anak bisa belajar mengambil keputusan, mengambil risiko dan berfikir rasional. Dari seorang Ayah juga anak - anak bisa belajar soal kepemimpinan, leadership dan tanggungjawab.

Tapi sayang, sebagian besar Ayah tidak bisa memainkan peran itu karena disibukan dengan pekerjaan dan jabatan yang pada ujungnya ada penyesalan seorang Ayah. Kembali ke cerita seorang Ayah, kini dia rajin Shalat Berjama'ah di masjid dan musholla dan tampil lebih awal.

Sebelum menyadari itu semua, ia hampir tidak pernah terlihat shalat di perumahan karena mungkin shalat di luar kota atau di tempat ia bekerja termasuk hari libur sekalipun. Yang sering terlihat biasanya pada Ramadhan karena dia menjadi salah satu pengisi kuliah tujuh menit.

Saya tidak tahu sejauh apa penyesalan Ayah ini melihat perkembangan dan karakter tiga anak laki - lakinya tersebut. Tapi yang pasti dari mimik wajahnya dia benar - benar menyesal karena telah melewatkan masa - masa emas dengan anak -anaknya tersebut. 

Dari kisah Ayah inilah saya bersyukur karena tidak mengalami, terutama sejak menjadi wirasawta dengan basis pekerjaan online sehingga lebih banyak di rumah.

Saya keluar rumah paling akhir pekan karena ada pekerjaan atau sekadar menghilangkan kejenuhan setelah berjam - jam di depan komputer. Saya merasakan betul karena melihat dari jarak dekat dan setiap saat mengerti perubahan demi perubahan karakter anak. 

Semoga kisah penyesalan Ayah yang saya ceritakan ini bisa memberikan pelajaran berarti bagi para Ayah di luar sana. Silahkan bekerja, tapi ayoo luangkan waktu untuk anak - anak, dekap mereka, ajak cerita mereka, ajak bermain mereka agar Anda bisa menasehati tanpa lebih banyak perkataan melainkan perbuatan.***

Posting Komentar