Tiga Tahun Sekolah Pakai Sepeda Berjarak Tujuh Kilometer
Dok/Foto Ilustrasi Internet |
Kalau anak sekolahan mau ikut angkotan maka diberi space jadi kenek, gelantungan tapi dulu mereka seneng - seneng aja biarpun gelantungan.
Selama tiga tahun saya sekolah SMP menggunakan transportasi sepeda. Jarak dari rumah ke sekolah kurang lebih tujuh kilometer. Seingat saya dua kali ganti sepeda, pertama sepeda federal lalu karena ukurannya terlalu besar sementara badanya saya kecil sepeda saya tukar dengan BMX.
Saya lupa kemana sepeda BMX bersejarah itu karena di rumah sudah tidak ada. Dengan sepeda itu saya berjibaku dengan seragam putih biru.
Penuh perjuangan karena rute yang ditempuh ada satu titik yang jalannya baik curam, tapi untungnya posisi baik pas keberangkatan sehingga tenaga masih segar. Tidak bisa dibayangkan kalau posisi naiknya pas pulang sekolah, waduh bisa ngos - ngosan.
Jalan tanjakan curam itu ada di Desa Klampis. Kurang lebih 3 kilometer sebelum sampai ke sekolah.
Saya biasanya berangkat dari rumah jam enam pagi dan pulang sekolah sekira jam dua siang. Tapi heranya waktu itu tidak kapok apalagi menyerah. Karena selain ramaian juga karena situasi jalan di era 90 an masih lengang tidak seramai sekarang banyak mobil dan motor.
Dulu angkotan desa tidak mau bawa anak sekolahan karena bayarnya murah, mereka memilih bawa sewa emak - emak yang mau belanja ke pasar tradisional. Meski bawa bakul dan belanjaan tapi karena ongkosnya lebih mahal daripada anak sekolah maka para sopir angkot bela - belain bawa mereka.
Kalau anak sekolahan mau ikut angkotan maka diberi space jadi kenek, gelantungan tapi dulu mereka seneng - seneng aja biarpun gelantungan.
Mungkin ada yang bertanya jauh amat sekolahnya sampai tujuh kilometer? Jadi gini, namanya juga anak desa di kampung yang jauh dari planet keramaian jadi ceritanya ingin mengubah nasib maka memilih sekolah yang favorite.
Itulah mengapa saya memilih sekolah di SMPN 1 Jatibarang. Lokasinya ada di Jatibarang Kidul dan berjarak kurang lebih dua kilometer dari Pabrik Gula Jatibarang, pabrik legendaris peninggalan Kolonial Belanda.
Di kampung saya tahun itu hanya beberapa biji yang mau melanjutkan sekolah SMP atau sederajat. Mayoritas anak - anak seusia saya waktu itu sudah pada merantau di Jakarta. Terkadang saya juga suka iri pas momen Lebaran, karena mereka menjadi bersih dan pegang duit sementara saya yang tinggal di kampung karena sekolah Lebaran nunggu kiriman dari orangtua.
===== Bersambung
Posting Komentar