Pergulatan Politik Putih Abu - Abu


Percakapan politik bagi saya dimulai bukan ketika menjadi aktivis mahasiswa, tetapi sejak SMA, persisnya kelas tiga. Ketika itu di kelas saya terpecah menjadi tiga kubu, pertama adalah kubu Amin Rais yang digawangi anak - anak Muhammadiah, kedua kubu PDIP dan kubu PPP. Sementara waktu itu tahun 1999 jadi di kelas tidak ada yang berani mewakili kubu Partai Golkar.

Ketika jam istirahat atau jam pelajaran tetapi tidak ada gurunya maka ketiga kubu ini akan memilih debat politik. Perdebatan yang rasional jelas anak - anak Muhammadiah karena mereka terlatih dalam organisasi politik. Jadi mereka sudah terbiasa dengan debat politik.

Apakah dulu perdebatannya panas? Sudah pasti, namanya juga perdebatan politik. Tapi dulu kita merasakan perdebatan panas politik hal biasa di dalam kelas dan tidak ada yang dendam atau uring - uringan pasca debat.

Ketika debat usai, kita pun bersatu dan bergandengan tangan lagi dengan isu yang berbeda, diantaranya isu bagaimana menyiasati tugas sekolah dan bagaimana menutup teman - teman yang absen agar tidak dihitung absen tetapi alasan lain. 

Setelah saya mengingat peristiwa masa lalu itu baru tersadar bahwa dulu saya dan teman - teman pernah terlibat dalam percakapan politik dan perdebatan tetapi ternyata dewasa juga.

Kita bisa mengontrol diri, mana tema yang layak untuk kita berdebatkan dan mana isu yang menyatukan kita. Ketika isu non politik, ketiga kubu itu bersatu padu meskipun saat itu isu yang menyatukan mereka adalah bagaimana menutupi cela kelas kita.

Kebetulan di kelas saya dulu ada Ketua OSISnya. wahyudin namanya, dialah perwakilan kubu Amin Rais atau Muhammadiah karena dia memang aktivis Muhammadiah. Dia memang dewasa dalam urusan perdebatan dan bisa menempatkan diri sebagai pemimpin semua kubu.

Ketika ada isu universal yang menyangkut nama baik kelas maka dia tampil seutuhnya menjadi ketua kelas kami sekaligus Ketua OSIS meskipun orang yang dibela berasal dari kubu lawan debatnya. 

Lagi - lagi saya baru tersadar bahwa dulu saya dan teman - teman pernah kok terlibat perdebatan politik dan ternyata bisa dewasa. Tidak ada yang terlukai, tidak ada yang merasa direndahkan dan tidak ada dendam politik yang kemudian dibawa dalam urusan lain. Sangat dewasa sekali..!

Meski ruang perdebatan kita terbatas hanya ada di ruang kelas dan orang - orang tertentu tetapi kalau sudah debat politik suasana diantara kita menjadi hangat. Sampailah saya di penghujung masa putih abu - abu, yaitu 2009.

Terjebak di Jembatan Semanggi Jakarta
Tanggal 19 Mei 1999 saya dan paman saya ke Jakarta, tepatnya di Palmerah, Slipi. Waktu itu kami tidak tahu situsi politik Jakarta bakal memanas karena memang informasi di erah itu sangat terbatas. 

Niat kami adalah main ke teman - teman paman saya yang merantau di Jakarta, salah satunya adalah di Slipi.

Usai bertandang ke teman paman saya di Pasar Slipi, kami pun melanjutkan perjalanan hendak ke tempat lain. Namun tiba - tiba terdengar ramai, riuh dan huru hara. 

Posisi saya waktu itu ada di Jembatan Semanggi. Tapi saat itu saya justru tidak takut, malah penasaran dan ingin mencari tahu. Mungkin kalau waktu itu saya sendiri akan ikut demo juga, namanya juga darah muda, ga ada rasa takutnya.

Tetapi karena paman saya beda usia jadi memilih mencari ke tempat yang lebih aman. Kami berdua turun ke bawah Jembatan Semanggi. 

Dan suasananya benar - benar riuh, ramai. Bus - bus padat, orang berlarian. Saya baru tahu kalau ada demo besa - besaran dan terjadi kericuhan antara mahasiswa Trisakti dengan aparat kepolisian sekira sore.

Kami terpaksa berjalan kaki ke tempat saudara yang dekat dengan daerah Semanggi. Kami sempat melintas di Kampus Trisakti, tepatnya di Terminal Grogol, persis di depan Kampus Trisakti Grogol.

Kami sesegera mungkin melangkahkan kaki agar cepat sampai di kontrakan teman paman saya dan akhirnya sampai. 

Kami pun mencari cari lain agar bisa melanjutkan ke Tangerang dan Alhamdulillah bisa sampai ke Tangerang Kota.

Setelah di Tangerang saya baru tahu bahwa tadi sore suasananya benar - benar kacau. Dari sinilah saya terkenang dengan Kampus Trisakti, kampus Reformasi dan bertekad kuat menjadi seorang mahasiswa.

Jadi ketika itu niatan saya kuliah bukan karena ilmu pengetahuan, namun lebih kepada bagaiaman bisa merasakan apa yang para mahasiswa Trisakti rasakan. 

Perasaan saya kok gagah amat sepertinya menjadi mahasiswa. Dan akhirnya tekad saya pun terkabulkan ditahun 2000 dan menjadi mahasiswa plus aktivis mahasiswa yang rajin demo, rajin debat politik dan sampai sekarang pun suka dengan politik. 

Posting Komentar